EXCELSIOR

Seperti biasanya, kereta dalam kota ”skytrain” sore itu padat penumpang. Di stasiun Metrotown, seorang perempuan buta setengah baya menaiki gerbong kereta. Ia memilih berdiri di dekat pintu keluar meskipun penumpang lain telah memberikan tempat duduknya.

Di perhentian berikutnya, ia bersiap turun. Begitu pintu kereta terbuka, dari luar seorang petugas perempuan berseragam biru dengan tulisan ”security” menghampirinya. ”Perkenalkan, nama saya Jennifer. Apakah Anda bersedia saya antarkan sampai keluar stasiun?”

Perempuan itu mengangguk dan menyelipkan tangannya ke lengan sang petugas. Mereka berdua berjalan perlahan menuruni tangga stasiun.

Pemandangan seperti itu sungguh tak biasa bagi saya yang sehari-hari berkutat dalam kesemrawutan lalu lintas Jakarta berikut angkutan umumnya. Termasuk, ketika sebuah mobil yang sudah bersiap belok di mulut gang mundur teratur sewaktu ada pejalan kaki yang hendak melintas. Juga, ketika petugas keamanan tergopoh-gopoh meminta semua penumpang yang hendak naik bus memberikan jalan kepada seorang penumpang yang hendak turun. Yang turun bukanlah pejabat, melainkan seorang ibu yang membawa kereta bayi.

Bagi pejalan kaki, kota ini juga nyaman. Seluruh trotoar dibuat lebar, sementara bahu jalan dirancang agar para difabel yang menggunakan kursi roda tidak mengalami kesulitan untuk berpindah dari satu trotoar ke trotoar lainnya.

Tak mengherankan bila untuk tahun 2010, Economist Intelligence Unit menempatkan Vancouver sebagai kota yang paling layak huni di dunia (the world’s most livable city). Kriteria utama dalam penilaian ini adalah keamanan, pendidikan, kebersihan, layanan kesehatan, budaya, lingkungan, fasilitas rekreasi, stabilitas ekonomi dan politik, serta transportasi publik.

Meski demikian, menjelang datangnya musim dingin, sejumlah tunawisma bermunculan di pojok-pojok jalan. Menjelang malam, mereka mengantre di depan rumah penampungan (salvation army) di kawasan timur pusat kota. Data dari Regional Steering Committee of Homelessness (2008) menunjukkan, jumlah tunawisma di Vancouver sekitar 1.547 orang. Namun, tahun 2010 jumlah itu diperkirakan sudah naik drastis.

Kota taman

Vancouver dikaruniai kecantikan alam yang unik. Tak banyak kota kosmopolitan yang memiliki sekaligus pemandangan laut biru dengan latar belakang gunung-gunung berpuncak es dan hutan hijau. Sehingga, suasana sehari-sehari hampir selalu beraroma ”akhir pekan”.

Mari sejenak menengok Stanley Park, sebuah taman luas di tengah kota. Taman ini istimewa karena luasnya yang sekitar 400 hektar—lebih luas dari Central Park New York—dan sebagian besar lahannya dipenuhi pohon yang usianya mencapai ratusan tahun. Namun, yang membuatnya nyaman adalah jalan yang mengelilingi taman itu sepanjang 9 kilometer, yang berbatasan langsung dengan laut (sea-wall). Jalan ini khusus ditujukan bagi pengendara sepeda, pejalan kaki, dan inline skaters. Masing-masing memiliki jalur yang tak saling mengganggu.

Jadilah taman ini mempertemukan aneka kepentingan warga, mulai dari yang ingin melakukan trekking, joging, bersepeda, sampai mereka yang sekadar memancing atau bermandi matahari di pinggir pantai. Tercatat hampir delapan juta pengunjung setiap tahun mendatangi Stanley Park.

Taman memang menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap Vancouver. Pembagian jalan kota yang simetris dengan sistem blok berselang-seling dengan taman yang asri. Bila senja menjelang, bangku-bangku taman yang dinaungi rindang pohon maple satu demi satu terisi. Kadang orang-orang yang datang sekadar duduk diam, memandang ke laut lepas. Sementara pantulan bias matahari yang berwarna keemasan bergeser perlahan dari kaca-kaca gedung pencakar langit....

Keragaman

Yang juga mencolok dari kota ini adalah atmosfernya yang sangat ”internasional”. Hampir separuh dari populasi kota ini merupakan keturunan pendatang, baik dari Asia, Amerika, maupun Eropa. Alhasil, paduan Barat-Timur sangat terasa dalam banyak hal. Naiklah bus kota, dalam radius satu meter dari tempat duduk, kadang Anda bisa mendengar percakapan lebih dari lima bahasa.

Hal itu juga tergambar dari sajian kuliner yang ada di kota ini. Dalam satu jalan berderet restoran beragam rasa. Dari masakan Mongolia sampai Meksiko. Jepang sampai Indonesia. Jika sempat, berjalan-jalanlah ke Chinatown, di sana tersedia aneka kebutuhan yang bisa melepas kerinduan akan kampung halaman, seperti mi instan, sambal ulek, kecap, tahu, balsam, sampai sapu lidi.

Namun, penghargaan terhadap keragaman itu bahkan sudah menyentuh tataran yang lebih subtil, seperti yang tergambar di Vancouver Art Gallery. Sampai awal September lalu galeri ini menggelar pameran ”The Modern Woman” yang menampilkan lukisan maupun sketsa karya impresionis dunia, seperti Degas, Renoir, Toulouse-Lautrec, Manet, Pissaro, Rodin, Seurat, yang merupakan koleksi Musee d’Orsay, Paris.

Subyek yang ditampilkan di sini adalah ragam laku perempuan pada abad ke-19, yang secara tak langsung memperlihatkan perubahan peran sosial perempuan ke arah yang semakin independen. Karya-karya Degas misalnya. Seri lukisan penari baletnya berdampingan dengan karya-karyanya yang menyentuh realitas akar rumput, seperti wanita penghibur, pelayan toko, penyanyi kafe, yang lebih membawa aura kebebasan.

Pada saat bersamaan galeri ini juga memamerkan karya Fiona Tan bertajuk ”Rise and Fall”. Seniman yang lahir di Indonesia tahun 1966 dan kemudian menetap di Australia dan membangun karier di Amsterdam itu memamerkan sejumlah gambar, foto, serta enam karya mutakhir videonya yang intens menggali persoalan identitas.

Di salah satu videonya, Tan yang menempatkan dirinya sebagai bagian kelompok minoritas (China) di Indonesia menyajikan penuturan yang kelam tentang peristiwa penumpasan PKI pada tahun 1965 dan sentimen rasial yang melingkupi peristiwa kerusuhan massal tahun 1998 di Jakarta. Semua itu membuatnya merekonstruksi kembali pemaknaan tentang identitas.

Toh, pertanyan-pertanyaan eksistensial seperti itu seolah mencair ketika menapaki jalan-jalan di kota ini. Dari satu sudut kota ke sudut lainnya, identitas, nasionalitas, apa pun namanya, seakan lebur dalam satu pemahaman: komunitas global. Dengan bahasa bersama: bahasa keragaman.

Oleh: Myrna Ratna
I Made Asdhiana | Senin, 27 September 2010 | 16:08 WIB

Categories: ,

Leave a Reply