EXCELSIOR


-Bandung, 19 November 2011-

Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.

Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.

Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.

Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.


Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.


Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.



Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.

Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.

Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.


Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.


Cerita ini diambil dari http://rinaldimunir.wordpress.com/2011/11/19/bapak-tua-penjual-amplop-itu/
Engga ada maksud atau tujuan lain nulis ulang cerita ini selain untuk mengingatkan diri sendiri tentang arti sebuah semangat, perjuangan, dan keikhlasan.
Cerita di atas engga berakhir sampai disitu, masih ada lanjutan ceritanya dan cukup membuat hati 'bangun', tapi silakan dilihat langsung di sumber aslinya :)


Read More …

19 Desember 2011, lebih dari 1 tahun lalu pengurus HIPMA periode 2010-2011 mengadakan perpisahan, tapi baru sekarang sempat nulis kegiatannya disini. Acara saat itu diadakan di Pantai Carita, Banten. Tidak semua pengurus bisa ikut, tapi hal itu tidak mengganggu jalannya acara.

Tempat peristirahatan di salah satu Pom Bensin di Balaraja

Suasana kegiatan


Pantai Carita, Banten
 
B'Extion HIPMA 2010-2011



Read More …

Sekarang mulai banyak orang yang hobi atau sekedar suka dunia fotografi. Ciri-ciri paling gampang yang nunjukin hal itu salah satunya makin banyaknya orang yang punya kamera single-lens reflex atau biasa disebut kamera SLR atau sekedar ngambil foto pake kamera digital atau bahkan kamera handphone. Banyak juga orang yang mengunggah foto mereka ke berbagai media di internet, dan akhirnya siapapun bisa ngeliat bahkan mungkin mengunduh foto tersebut. Jadi bukan hal aneh kalau suatu saat kita ngeliat foto yang kita ambil ada di komputer atau handphone orang lain.

Masalah yang kadang ada karena hal-hal yang disebutkan sebelumnya adalah perebutan hak cipta dari sebuah foto. Tidak adanya keterangan pada foto membuat siapapun bisa mengakui bahwa itu adalah foto mereka. Sebenarnya ada istilah watermarking yang salah satu fungsinya adalah Copyright-Labeling, yaitu metode untuk menyembunyikan label hak cipta pada data digital sebagai bukti otentik kepemilikan karya digital tersebut. Atau hanya sebagai Annotation/caption, yaitu watermarking hanya digunakan sebagai keterangan tentang data digital itu sendiri. Cara simple make watermark di foto yaitu penambahan logo atau tulisan di bagian foto utama.

Sebagian foto di blog ini juga ditambahin logo sekedar untuk nandain kalau foto itu memang hasil foto sendiri atau file foto dari temen, bukan hasil googling. Tapi engga semua foto karena alasan klasik, yaitu males ngeditnya lagi hehehe.

Untuk tahun ini udah direncanain ganti logo. Tapi lagi-lagi karena alasan malas, akhirnya baru hari ini jadi.


Logo kali ini sengaja dibikin simple, engga banyak huruf, engga banyak desain, dan engga banyak tambahan gambar atau logo lainnya. Cuma ada tiga huruf, tapi ketiganya dibikin pake jenis font yang beda dan juga perbandingan ukuran yang beda. Kalau ditanya kenapa milih font dan ukuran itu, jawabannya cuma karena suka. Engga ada arti khusus dari logo itu, cuma sekedar inisial dari nama sendiri. Tapi kalau ngeliat pake imajinasi (ditambah radar neptunus kalau ada :p) ada garis-garis yang bisa dihubungi terus ngebentuk huruf
t-e-d-i


Sumber Informasi Tambahan: Wikipedia
Read More …




Gladikarya merupakan salah satu bagian yang terdapat dalam kurikulum pembelajaran Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Gladikarya merupakan suatu bentuk pendidikan dengan cara memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa Agribisnis untuk hidup di tengah masyarakat di luar kampus, dan secara langsung bersama-sama masyarakat mengidentifikasi, menganalisa, serta menangani masalah-masalah pembangunan agribisnis yang dihadapi.

Pada tahun ini, Gladikarya dilaksanakan di 22 desa yang terdapat dalam 6 kecamatan di 2 kabupaten yang terdapat di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Saya dan keempat teman saya yang lain ditempatkan di Desa Gekbrong Kecamatan Gekbrong Kabupaten Cianjur. Kami diberikan waktu selama 7 minggu yang dimulai sejak 25 Juni 2012 untuk mengidentifikasi masalah terkait agribisnis, menyusun program, melaksanakan program, hingga evaluasi program.

Selama satu minggu kami mencoba mengidentifikasi potensi dan permasalahan yang ada. Berdasarkan data pada tahun 2010, dari 1973 kepala keluarga (KK) yang ada, 81% diantaranya bermatapencaharian sebagai petani, namun sebanyak 63% hanya sebagai buruh tani. Dari total lahan di Desa Gekbrong seluas 134,3 hektar, 75 hektar digunakan sebagai ladang untuk menanam berbagai macam tanaman hortikultura. Berdasarkan pengamatan kami, potensi utama tanaman hortikultura di desa ini adalah tomat.



Untuk mengetahui permasalahan yang ada, kami turun langsung ke lapang, berdiskusi dengan para petani yang ada, serta konsultasi kepada penyuluh dan perangkat desa yang ada. Kami menyimpulkan masalah utama yang ada di desa ini adalah permasalahan pada kelembagaan atau kelompok tani yang ada disana. Kelompok tani sudah terbentuk, namun fungsi kelompok tani belum bisa dirasakan secara optimal oleh petani-petani di desa ini, dikarenakan pengurus yang kurang aktif dan kurangnya keinginan petani untuk bergabung ke dalam kelompok tani.




Berdasarkan identifikasi yang telah kami lakukan, kami menyusun tiga program yang diharapkan bisa sedikit membantu menyelesaikan permasalahan yang ada. Kami menyadari bahwa kami disini tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan, sehingga inti utama dari program yang kami laksanakan adalah menempatkan kami sebagai fasilitator. Oleh karena itu, dalam ketiga program yang kami laksanakan, kami selalu mengundang Kepala Desa sebagai pengambil kebijakan tertinggi di desa ini.

Program pertama yang kami laksanakan adalah program Bincang-bincang Agribisnis. Program ini bertujuan untuk memberikan motivasi kepada petani agar mau berperan aktif dalam kelompok tani. Menghadirkan kepala desa, kepala Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Gekbrong, dan pendiri koperasi yang berada di sebelah desa Gekbrong. Konsep acara berupa dialog interaktif sehingga ada informasi yang diberikan petani terkait masalah yang mereka hadapi, dan ada solusi dari pihak desa maupun penyuluh pertanian.



Program kedua adalah Benah Kelompok Tani. Dari lima kelompok tani yang ada di desa ini, kami hanya fokus pada satu kelompok tani karena adanya keterbatasan waktu pelaksanaan program. Kami memilih Kelompok Tani Gede Harepan yang berada di Kampung Tabrik Desa Gekbrong karena adanya beberapa alasan yang salah satunya adalah adanya keinginan yang kuat dari salah satu petani disana yang mengharapkan kelompok tani ini bisa berjalan kembali. Hasil dari kegiatan ini adalah terbentuknya kepengurusan baru dan pemberian kelengkapan administrasi kelompok tani oleh pihak mahasiswa.




Program terakhir yang kami laksanakan adalah Fasilitator Pertemuan Kelompok Tani Gede Harepan dengan Pengurus Desa dan Penyuluh Pertanian. Hal ini dilakukan karena sebelumnya komunikasi antara kelompok tani dengan pengurus desa dan penyuluh pertanian tidak berjalan dengan baik. Dari program ini, pengurus desa dapat mengetahui kondisi yang dialami warganya, penyuluh pertanian dapat mengetahui permasalahan pertanian yang dihadapi petani, dan petani mengetahui salah satu jalur pemasaran yang diberikan oleh penyuluh pertanian.



Tujuh minggu yang saat awal pelaksanaan dibayangkan terasa lama, ternyata tidak begitu terasa dan kami pun harus bersiap pergi meninggalkan desa ini. Banyak pelajaran yang kami dapatkan dan tidak bisa diperoleh ketika kita hanya duduk di dalam ruang kelas. Arti sebuah perjuangan untuk hidup, dan semangat yang ditunjukkan petani disini cukup membuat kami sadar pentingnya bersyukur atas semua yang telah kami dapatkan.










Read More …